Kearifan Lokal

Definisi Kearifan Lokal

 

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur. Naritoom merumuskan local wisdom dengan definisi (Wagiran, 2010):

Local wisdom is the knowledge that discovered or acquiredby lokal people through the accumulation of experiences in trials and integrated with the understanding of surrounding nature and culture. Local wisdom is dynamic by function of created local wisdom and connected to the global situation.

Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep,

yaitu: (1) kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan

sebagai petunjuk perilaku seseorang; (2) kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya; dan (3) kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep demikian juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau penyaring iklim global yang melanda kehidupan manusia. Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup.

Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu bagian dari budaya Jawa, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup manusia, akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Lebih lanjut dikemukakan beberapa karakteristik dari local wisdom, adalah:

a. Local wisdom appears to be simple, but often is elaborate, comprehensive,

diverse;

b. it is adapted to local, cultural, and environmental conditions;

c. It is dynamic and flexible;

d. It is tuned toneeds of local people;

e. It corresponds with quality and quantity of available resources; and

f. It copes well with changes.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal merupakan sebuah budaya kontekstual. Kearifan selalu bersumber dari hidup manusia. Ketika hidup itu berubah, kearifan lokal pun akan berubah pula.

Ruang Lingkup Kearifan Lokal

 

Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya denganlingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.

Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah: kearifan kini, kearifan baru, atau kearifan kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan dulu atau kearifan lama.

Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional). Esensi kemajuan yang dicapai berbagai bangsa tersebut menunjukkan bahwa pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat bangsa itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan dalam era global, namun justru menjadi penyaring budaya dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global. Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini.

Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan hadir kearifan dalam kategori yang beragam. Dalam hal ini terdapat dua jenis kearifan lokal, yaitu: (1) kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan; dan (2) kearifan lokal baru, masa kini, kontemporer. Dari sisi filosofi dasarnya, kearifan dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu: (1) gagasan, pemikiran, akal budi yang bersifat abstrak; dan (2) kearifan lokal yang berupa hal-hal konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori gagasan mencakup: berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik- praktik dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini, yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman di masa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain.

Kearifan lokal kategori hal konkret biasanya berupa benda-benda artefak, yang menghiasi hidup manusia, dan bermakna simbolik.

Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena kearifan selalu dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan citra yang lebih baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu orang lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan datang. Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Kearifan lokal dapat muncul pada: (1) pemikiran, (2) sikap, dan (3) perilaku. Ketiganya hampir dipisahkan. Jika ketiganya ada yang timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar. Dalam pemikiran, sering terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, tetapi kalau mobah mosik, solah bawa, tidak baik juga dianggap tidak arif, apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji. Apa saja dapat tercakup dalam kearifan lokal.

Paling tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: (1) pemikiran, sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); (2) pemikiran, sikap, dan tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi, lukisan, dan sebagainya; dan (3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial bermasyarakat, seperti unggah- ungguh, sopan santun, dan udanegara. Secara garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible) dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan. Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga, dan pakaian. Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat 122 dibatasi atau dikotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Wagiran (2010) yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, philosophi, agama dan budaya serta makanan tradisional.

Contoh Kearifan Lokal

 

KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PERTANIAN DI

LAHAN RAWA

Pertanian di lahan rawa berkembang seiring dengan keberhasilan para petani pioner yang menggeluti lahan rawa ratusan tahun silam. Keberhasilan para pioner ini memberikan inspirasi bagi pemerintah kemudian untuk membuka lahan rawa secara besar-besaran di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi seiring dengan krisis pangan yang menimpa Indonesia setelah Perang Dunia II (Notohadiprawiro, 1996). Pengembangan daerah rawa di Kalimantan dimulai sejak abad 13 Masehi saat Kerajaan Majapahit memperluas pengaruhnya. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit dicatat telah mengadakan pembukaan lahan rawa untuk pemukiman dan pertanian di Sungai Pawan, Kalimantan Barat. Pengembangan rawa di Kalimantan Selatan di mulai pada tahun 1920, yaitu seiring dengan pembangunan jalan besar melintasi rawa gambut sepanjang 14 km yang bersambungan dengan tanah pasir (sekarang termasuk dalam Kec. Kertak Hanyar dan Kec. Gambut, Kabupaten Banjar). Dikedua sisi jalan tersebut terbentuk saluran air (sungai), sehingga air di lahan rawa tersebut dapat tersalurkan ke sungaibesar. Dengan terbukanya jalan tersebut, orang mencoba bersawah dan ternyata memberikan hasil yang baik. Pada tahun 1927 lahan di kedua sisi jalan tersebut sudah habis terbuka. Petani yang baru datang mulai membuat parit-parit melintang di kedua sisi jalan untuk membuka lahan di bagian dalam dari jalan tersebut. Pembukaan sawah ini berlanjut dari tahun ke tahun dengan cara pembuatan parit-parit. Kemudian pada tahun 1928, mulai juga dibuka dengan pembuatan sawah di Anjir Serapat, pada lahan bekas kebun karet yang terbakar, sehingga daerah Anjir Serapat pun menjadi tempat tujuan petani untuk bersawah. Pada tahun 1935, dibuat parit besar dari km 14 (sekarang Kec. Gambut) sampai ke Aluh-aluh serta perbaikan Sungai Pemurus dan Sungai Kelayan, sehingga lahan di wilayah rawa tersebut berangsur menjadi sawah dan pembukaan sawah meluas hingga ke Kurau dan Aluh-aluh. Pada tahun 1937, penduduk dari Hulu Sungai berdatangan ke daerah Anjir Serapat untuk membuka sawah. Kondisi Anjir Serapat menjadi lebih baik setelah selesai diperdalam dengan kapal kerok pada tahun 1935. Pada tahun 1938, oleh pemerinmtah Belanda dilakukan program kolonisasi (sekarang diistilahkan dengan transmigrasi) yaitu petani dari Jawa didatangkan untuk memanen padi di daerah Kertak Hanyar, sambil belajar bersawah di lahan rawa pasang surut. Kemudian mereka disediakan lahan di Kampung Tamban, daerah Anjir Serapat, sekarang menjadi Kampung Purwosari (Idak, 1948). Petani dari Jawa selanjutnya didatangkan lagi setiap tahun hingga tahun 1941.

Pembuatan Anjir Tamban dimulai tahun 1941, berawal dari Sungai Barito dan setelah mencapai dua kilometer pembuatan terhenti karena Perang Dunia II. Kemudian pembuatan Anjir Tamban dilanjutkan hingga mencapai 14 km pada tahun 1952. Pada tahun 1956-57, pembuatan anjir dilanjutkan sepanjang 25 km, hingga mencapai Sungai Kapuas (Sarimin and Bernsten, 1984). Pemerintah (Belanda) sejak tahun 1934 juga sudah menaruh perhatian terhadap pertanian di lahan rawa lebak yaitu dengan dimulai pembuatan polder untuk mengendalikan air di lahan rawa lebak di daerah Alabio dan Martapura. Pada tahun 1939 disusun Rentjana Perbaikan dan Perluasan Persawahan dalam Groupsgemeenschap Bandjar yang mencakup wilayah rawa pasang surut. Pada tahun 1958 pemerintah membuka Rice Project komplek Belandean secara besar-besaran di lahan pasang surut, sejak saat itu nama Sawah Pasang surut dikenal di Indonesia (Idak, 1967).

Dengan demikian, maka praktek-praktek pertanian di lahan rawa yang sekarang berkembang tidak lepas dari upaya petani-petani pioner yang dengan gigih menyiasati kondisi alam yang penuh dinamika dan bahkan adakalanya kurang bersahabat. Keadaan tanah dan lingkungan rawa bersifat khas dan sangat beragam. Salah satu aspek yang sangat khas adalah kondisi air yang silih berganti pasang dan surut. Sebagian, hampir sepanjang tahun tergenang yang dapat bersifat mendadak ataupun bertahap pasang/banjir. Sifat tanah dan air cepat berubah masam (bangai) sertakelarutan besi, alminium, sulfat dan asam asam organik yang tinggi. Praktekpraktek pertanian di lahan rawa ini konon juga tidak lepas dari introduksi bangsa China yang sejak abad ke 13 Masehi telah melakukan invasi perdagangan ke Kalimantan yang secara tidak langsung mengajarkan juga cara bertani dan beternak.

Penggalian terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia, namun lebih menitik beratkan pada aspek antrophologi dan ekologi. Beberapa kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di Jawa seperti sistem walik jerami, di Bali seperti sistem subak, dan di Jawa Barat sistem embung. Kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa sebagai contoh antara lain dikenal dengan tanam padi sistem banjar yaitu sistem penyiapan lahan tajak-puntal-balik-hambur dan sistem persemaian taradak ampak-lacak, serta sistem penataan lahan tongkongan yang sudah banyak dikenal dan diteliti. Kearifan budaya lokal ini tentu saja sudah berakar di masyarakat sehingga dapat memperkaya inovasi yang terus berkembang. Hasil penelitian dan penggalian terhadap petani di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan ada beberapa hal yang menarik dari masyarakat petani di lahan rawa (Hidayat, 2000; Noor, 2007; Supriyo dan Jumberi, 2007; Ar-Riza et al., 2007; Noor, HDj. et al., 2007; Noorginayuwati dan Rafieq, 2007; Noorginayuwati et al., 2007) antara lain:

1. Pola pemukiman dan konstruksi rumah yang dikenal dengan rumah lanting untuk di pinggir tepian sungai dan rumah panggung, rumahbetang atau bertiang tinggi di daratan lahan atas.

2. Pola pertanian dan pola tanam yang dikenal dengan banih tahun, padi

surung, padi rintak.

3. Pengelolaan dan konservasi tanah dan air yang dikenal antara lain

sistem handil, sistem anjir, dan sistem tabat.

4. Pengelolaan kesuburan lahan yang dikenal antara lain pemberian garam, abu, pengelolaan kompos (tajak-puntal-hambur) untuk padi sawah, dan melibur untuk tanaman tahunan seperti jeruk, kelapa dan karet.

5. Peralatan pertanian yang merupakan produk lokal dan secara meluas digunakan di lahan rawa antara lain sundak, tajak, tatajuk, ranggaman, lanjung, tikar purun, kakakar, gumbaan, kindai, kalumpu dan lain sebagainya.

6. Sistem sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan organisasi/kelompok seperti handil (saluran irigasi dan drainase) dipimpin oleh kepala handil meliputi kawasan handil sepanjang 2-3 km dan berperan sebagai pengelolaan air dan pertanian setempat, termasuk perawatan saluran.

Kearifan budaya lokal di atas sekarang sebagian masih bertahan, tetapi sebagian juga sudah mulai pudar atau hilang karena tuntutan perkembangan sosial budaya masyarakat dengan muncul berbegai pilihan. Sejatinya pilihan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan sementara atau jangka pendek, tetapi mengakibatkan kemerosotan jangka panjang dalam aspek lingkungan. Pada hakekatnya kearifan budaya lokal dapat bertahan dengan upaya adaptasi atau penyesuaian-penyesuaian dengan mengikuti kondisi atau tuntutan yang berkembang.

Refernsi:

3.9_Siti Wahyuni_Keberagaman & Makna Nilai Kearifan Lokal.pdf

Kearipan-1 M-Noor.pdf

Leave a comment